Sumpah Pemuda Lahir Dari Sebuah Kamar Kost

GEDUNG SUMPAH PEMUDA: DARI KOST2AN, TOKO KEMBANG, HOTEL SAMPAI MUSEUM



14 menjelang Hari Sumpah Pemuda ke-86, mari kita tengok sejenak riwayat gedung yg beralamat di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta Pusat ini. Pemilik bangunan berarsitektur Indies ini adalah seorang Tiong Hoa bernama Sie Kong Liang.

KOST2AN PELAJAR STOVIA & RHS

Pada tahun 1908, Sie Kong Liang menjadikan gedung berukuran 460 m2 itu sebagai tempat kost pelajar/mahasiswa, yg kebanyakan adalah pelajar sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan sekolah hukum RHS (Recht Hooge School), keduanya cikal bakal Universitas Indonesia.

Quote:
Di antara pelajar yg pernah tinggal di gedung ini adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi asal Surabaya, Soerjadi dari Jakarta, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, serta Mohammad Tamzil, Aboe Hanifah, Soegondo Djojopoespito, Setiawan, Mangaradja Pintor, A.K. Gani, Mohammad Tamzil dan Assaat dt Moeda.
Oleh penghuni kost2an tsb, bangunan itu diberi nama Commensalen Huis. Lambat laun, banyak pelajar yang menjadikan itu sebagai tempat berkumpul. Pada 1925, julukan tempat itu pun berganti menjadi Langen Siswo karena banyak penghuninya yg orang Jawa dan ikut organisasi Jong Java.

TEMPAT AKTIVITAS PERGERAKAN PEMUDA


Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama.

Penghuni kost, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi. Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim.

Namun sejak 1927 sejumlah organisasi pergerakan pemuda lainnya pun mulai melakukan pelbagai kegiatan di sana. Mereka berdiskusi soal format perjuangan. Di rumah itu pula tergelar Kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, serta PPPI.

Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.

Akhirnya nama gedung pun berganti lagi menjadi Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw. Artinya gedung pertemuan. “Bung Karno dan tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106,” tulis situs Museum Sumpah Pemuda.

Pemerintah Hindia-Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Pemerintah memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat. Namun bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah. Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda II.

KONGRES PEMUDA KEDUA, 27-28 OKTOBER 1928


Pada 15 Agustus 1928, para pemuda memutuskan menggunakan rumah Sie Kong Liang sebagai tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua, pada 27-28 Oktober 1928. Mereka juga menunjuk Ketua PPPI Soegondo Djojopuspito sebagai pemimpin kongres.

Kalau pada Kongres Pemuda Kesatu 1926 telah berhasil diselesaikan perbedaan-perbedaan sempit berdasarkan kedaerahan dan tercipta persatuan bangsa Indonesia, Kongres Pemuda Kedua diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih maju. Di gedung ini akhirnya dihasilkan keputusan yang lebih maju, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

1934 - 1951: RUMAH TINGGAL, TOKO BUNGA & HOTEL

Usai Kongres Sumpah Pemuda Kedua, banyak pelajar yang lulus sekolah. Mereka pun kemudian meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw. Sementara kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Sie Kong Liang pun mengontrakkan rumahnya ke Pang Tjem Jam selama tiga tahun.

Pang Tjem Jam tinggal di Gedung Kramat 106 hanya sampai 1937. Setelah itu, Sie Kong Liang menyewakannya ke pengusaha toko bunga, Loh Jing Tjoe. Di rumah itu, Loh Jing Tjoe menjual tanaman hingga 1948. Namun, ia terus menyewa rumah Sie Kong Liang sampai 1951. "Selama tiga tahun terakhir, rumah itu beralih fungsi menjadi Hotel Hersia." Masa penyewaan rumah Sie Kong Liang berakhir di 1951.

DIKUASAI PEMERINTAH RI SAMPAI JADI MUSEUM

Kemudian rumah itu dikuasai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan RI hingga 1970. Pada saat itu, gedung tsb digunakan sebagai perkantoran Inspektorat Ditjen Bea dan Cukai.

Pada 1968, tokoh Kongres Pemuda ke-2, Sunario Sastrowardoyo, mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda. Mereka meminta Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, mengelola dan memugar Gedung Kramat Raya 106. Permintaan dikabulkan. Pada 3 April-20 Mei 1973, Pemerintah Daerah Jakarta merenovasi rumah Sie Kong Liang. Usai dipugar, rumah Sie Kong Liang ini diresmikan menjadi Museum Sumpah Pemuda oleh Ali Sadikin.

0 comments:

Post a Comment