Paska kematian Osama
ben Laden (2012) sebagai tokoh yang dilekatkan dengan aksi terorisme melalui
organisasi Al Qaedahnya yang telah menghancurkan menara kembar World Trade Center di Amerika (2001),
ternyata tidak menyurutkan berbagai gerakan-gerakan terorisme internasional dan
nasional dengan mengatasnamakan agama.
Ditengah kecamuk perang
dan konflik separatis dan sektarian di Irak dan Suriah, muncul sebuah
organisasi ekstremis bernama Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara
Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang mendeklarasikan berdirinya kekhalifahan yaitu
sebuah negara Islam yang membentang di seluruh wilayah yang mereka kuasai di
Irak dan Suriah ke dalam satu kekhalifahan. Wilayah yang dimaksudkan membentang
dari Aleppo di Suriah utara hingga Diyala di Irak timur. Juru
bicara ISIS Abu Muhammad al-Adnani mengatakan, lewat situs internet dan
Twitter, bahwa di kekhalifahan ini semua aspek kehidupan akan diatur sesuai
dengan hukum Islam. Organisasi ini telah menetapkan Abu Bakr al-Baghdadi
sebagai pemimpin Khalifah.
Berita seputar
aktifitas ISIS menjadi salah satu trending topik di sejumlah media
internasional dan nasional baik media elektronik, media cetak serta sosial
media. Beberapa berita yang dihubungkan dengan ISIS adalah perihal kekejaman
yang dilakukan terhadap lawan dan masyarakat sipil serta penganut agama yang
berbeda. Koran Kompas mengulas, “NIIS
terkenal sadis ketika bertempur di Suriah. Mereka membunuh atau membantai
dengan cara-cara keji melampaui rasa kemanusiaan. Tindakan yang sama kini
mereka lakukan terhadap pasukan Irak warga ulama atau tokoh masyarakat
tertentu. Tujuh hari lalu, mereka mengeksekusi 12 ulama di Mosul. Selain itu,
mereka juga mengeksekusi 170 tentara Irak”.
Penjelasan Pascal S.
Bin Saju di atas tentu saja kurang lengkap karena penyiksaan, pemerkosaan dan
pembunuhan terhadap umat Kristen begitu masif di Mosul, ibukota Niniveh. Samer
Kamil Yacub memberikan kesaksian bahwa akhir Kekristenan tengah berjalan di
Mosul dimana eksistensi gereja dan umat Kristen yang telah ada 2000 tahun
lampau dimusnahkan begitu saja, Patriarch
Louis Sako melaporkan kepada situs berita AFP bahwa untuk pertama kalinya dalam
sejarah Mosul kosong dan bersih dari umat Kristen. Hal tersebut berkaitan dengan
ultimatum yang dikeluarkan ISIS kepada orang-orang Kristen di Mosul untuk
memilih 3 opsi yaitu: Membayar pajak, masuk Islam atau meninggalkan Mosul. Ada 50-an
mesjid dan gereja kuno seperti St. Ephrem’s Cathedral, yang merupakan bagian
dari Tahta Kepatriakan Gererja Ortodox Syria di Mosul dihancurkan. Salib
diturunkan dari kubah gerejabahkan makam Nabi Yunus yang disakralkan baik oleh penganut Yudaisme, Kristen
dan Islam pun dimusnahkan. Sejumlah
kota penting di Propinsi Niniveh yaitu Sinjar, Mosul dan Zumar telah jatuh ke
tangan kelompok ISIS. Dan beberapa kota penting di Suriah pun telah dikuasai
seperti Propinsi Deir al Zour dan Propinsi Homs serta Propinsi Raqqah, Hasakah,
Aleppo.
Kekejaman ISIS bukan
representasi Islam. Kekejaman ISIS yang melampaui batas kemanusiaan pun menuai
protes dari umat Islam di Baghdad yang memprotes tindakan ISIS yang membunuh
dan mengusir umat Kristiani di Mosul
Sebelumnya, diberitakan
ISIS melancarkan urat syaraf dengan membuat intimidasi untuk menghancurkan
Mekkah
dan menaklukan Vatikan di Roma.
ISIS mengklaim memiliki sejumlah pasukan yang berasal dari Inggris, Prancis, Jerman dan
negara-negara Eropa lainnya, serta
Amerika Serikat, dunia Arab dan Kaukasus.
Bahkan di Indonesia sendiri dikabarkan sudah ada 30-an orang Indonesia yang
terlibat dalam milisi ISIS, sebagaimana dilaporkan kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai.
Mereka menargetkan Indonesia sebagai negara Islam terbesar hingga Andalusia
Spanyol menjadi wilayah yang dikuasai dan menjadi bagian dari khilafah.
Belum lama ini beredar video yang diunggah di You Tube dengan judul “Join the
Rank” dimana berisikan sejumlah wajah orang Indonesia yang tergabung dalam ISIS
dan membuat pernyataan untuk mengajak orang-orang Indonesia bergabung dalam
perjuangan mereka.
Di situs berita pendukung ISIS, Al-mustaqbal.net, pada Jumat, 7 Juli 2014,
dilaporkan tentang pembaitan ratusan orang untuk mendukung Baghdadi dan ISIS di
auditorium Syahida Inn, Kampus II UIN Ciputat.
Mereka datang dari berbagai daerah yakni Jabodetabek, Banten, Sukabumi,
Cianjur, Lampung, Riau, dan Batam. Bahkan menurut beberapa pengamat terorisme,
ISIS sudah membaiat sejumlah 2 juta orang sebagai pengikutnya di Indonesia.
Dukungan spiritualpun dikumandangkan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari
penjara Nusakambangan, Cilacap.
Apakah
Organisasi ISIS dan Siapakah Abu Bakar Al Baghdadi?
Semua berita fenomenal
mengenai ISIS tentu saja mengelitik keingintahuan kita mengenai apa dan
bagaimanakah organisasi ISIS dan siapakah tokoh bernama Abu Bakar Al Baghdadi
yang mengklaim sebagai Khalifah tersebut?
Kelompok ini, dalam bentuk aslinya, terdiri dari
dan didukung oleh berbagai kelompok pemberontak Sunni, termasuk organisasi pendahulunya
yaitu, the Mujahideen Shura Council, the Islamic State of Iraq (ISI) dan Al-Qaeda in Iraq (AQI), beberapa kelompok pemberontak Jaysh al-Fatiheen,
Jund al-Sahaba,
Katbiyan Ansar Al-Tawhid wal Sunnah
dan Jeish al-Taiifa
al-Mansoura, dan
sejumlah suku Irak yang mengaku Islam
Sunni. Kehadiran mereka dikenal sejak meletus
konflik sektarian di Irak dan Suriah.
ISIS dikenal dengan penafsirannya
yang kaku dari Islam Wahabi dan melakukan kekerasan brutal, yang ditujukan pada Muslim Syiah
dan Kristen pada khususnya. Ia memiliki setidaknya 4.000 pejuang
dalam jajarannya di Irak.
Selain melakukan serangan terhadap pemerintah dan militer, ISIS pun telah mengaku bertanggung jawab atas serangan
yang menewaskan ribuan warga sipil. Serta memiliki hubungan erat dengan al-Qaeda hingga 2014, namun
pada bulan Februari tahun itu, setelah perebutan kekuasaan selama
delapan bulan, al-Qaeda memutus semua hubungan dengan kelompok
dikarenakan kebrutalannya yang disebut “notorious intractability” (sifat degil
yang terkenal).
Pada tanggal 29 Juni 2014, ISIS
mengumumkan berdirinya kekhalifahan baru dengan pemimpin bernama Abu Bakr al-Baghdadi yang sekarang dikenal sebagai Amir al-Mu'minin
Khalifah Ibrahim.
Mereka bukan hanya melakukan penaklukan wilayah dan memasukkannya menjadi
bagian kekhilafahan namun mereka pun bertekada untuk menghapus semua perbatasan modern antara negara-negara
Islam Timur Tengah,
yang ditetapkan dalam Perjanjian Sykes-Picot selama Perang
Dunia I, sebagaimana rilis video mereka
pertengahan 2014 dengan judul, "The End of Sykes-Picot", dengan
menampilkan Abu Safiya
seorang berkebangsaan Chili yang berbicara dalam bahasa Inggris.
Perjanjian Sykes-Picot adalah
perjanjian yang dilakukan antara Inggris (diwakili Mark Sykes) dan Prancis
(diwakili George Picot) pada tanggal 16 Mei 1916. Trias Kuncahyono menjelaskan
mengenai perjanjian tersebut, “Perjanjian Sykes-Picot, pada garis besarnya, berisi
pembagian wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah yang tengah memasuki rembang petang.
Berdasarkan perjanjian itu, Prancis menguasai Suriah, Lebanon dan Cilicia.
Sementara Inggris mendapatkan wilayah yang sekarang bernama Jordania, sebagian
Irak (termasuk Baghdad) serta Pelabuhan Haifa dan Acre. Sebagian besar
Palestina dikontrol bersama oleh kekuatan Sekutu. Lembah Jordan ada di bawah
pengaruh Inggris. Jerusalem di bawah administrasi internasional. Rusia
mendapatkan Turki, termasuk Istanbul dan Selat Bosporus”.
Lantas siapakah Abu Bakr al-Baghdadi yang telah mengklaim menjadi
pemimpin khalifah dengan gelar Amir al-Mu'minin Khalifah
Ibrahim?
Berikut penjelasan media sosial Kompas.com: “Bulan
Juli 2013, ahli ideologi asal Bahrain, Turki al-Binali, yang menggunakan nama
Abu Humam Bakr bin Abd al-Aziz al-Athari, menulis biografi Baghdadi terutama
untuk menggarisbawahi sejarah keluarga Baghdadi. Dia menyatakan Baghdadi memang
keturunan Nabi Muhammad, salah satu persyaratan kunci dalam sejarah Islam untuk
menjadi khalifah atau pemimpin semua warga Muslim. Baghdadi dikatakan berasal
dari suku al-Bu Badri, yang sebagian besar berada di Samarra dan Diyala,
Baghdad utara dan timur, dan secara historis penduduknya dikenal sebagai
keturunan Muhammad.
Turki al-Binali kemudian menyebut
bahwa sebelum invasi Amerika Serikat terhadap Irak, Baghdadi menerima gelar
doktor dari Universitas Islami Baghdad, yang memusatkan kajian pada kebudayaan,
sejarah, hukum, dan yurisprudensi Islam. Dia memang tidak memiliki gelar dari
lembaga keagamaan Sunni seperti Universitas al-Azhar di Kairo atau Universitas
Islami Madinah di Arab Saudi. Meskipun demikian dia lebih memiliki pengalaman
pendidikan Islam tradisional dibandingkan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden
dan Aymen Al Zawahiri, yang keduanya adalah orang biasa, insinyur, dan dokter.
Karena itulah Baghdadi menerima pujian dan legitimasi yang lebih tinggi di
antara pendukungnya.
Setelah invasi AS terhadap Irak di
tahun 2003, Baghdadi dan beberapa rekannya mendirikan Jamaat Jaysh Ahl
al-Sunnah wa-l-Jamaah (JJASJ), Angkatan Bersenjata Kelompok Warga Sunni, yang
beroperasi dari Samarra, Diyala, dan Baghdad. Di dalam kelompok ini, Baghdadi
menjadi pemimpin dewan hukum. Pasukan pimpinan AS menahannya dari bulan
Februari-Desember 2004, tetapi membebaskannya karena Baghdadi tidak dianggap
sebagai ancaman tingkat tinggi.
Mengikuti jejak Al Qaeda di Tanah
Dua Sungai mengubah nama menjadi Majlis Shura al-Mujahidin (Dewan Syura Mujahidin)
pada permulaan tahun 2006, pimpinan JJASJ menyatakan dukungannya dan
penggabungan diri. Di dalam struktur baru, Baghdadi bergabung dalam dewan
hukum, tetapi tidak lama kemudian organisasi mengumumkan perubahan nama kembali
di akhir tahun 2006 menjadi Negara Islam Irak (ISI). Baghdadi menjadi pengurus
umum dewan hukum provinsi di dalam "negara" baru disamping anggota
dewan penasehat senior ISI. Ketika pimpinan ISI, Abu Umar al-Baghdadi,
meninggal pada April 2010, Abu Bakr al-Baghdadi menggantikannya”.
Mengapa
ISIS Menjadi Kuat dan Fenomenal?
Mengapa
perkembangan pasukan ISIS begitu pesat dan menguatirkan sehingga menggoyahkan
pemerintahan Irak dan Suriah membuat tidak berdaya militer mereka, padahal umur
organisasi ini – meminjam istilah Pascal S. Bin Saju – “baru seumur jagung”?
Bukan hanya keberadaannya yang menguatirkan di wilayah Irak dan Suriah namun
bagi seluruh dunia baik dunia Timur Tengah maupun dunia Barat?
Setidaknya
ada beberapa faktor yang turut berpengaruh terhadap kekuatan dan fenomenalitas
sepak terjang ISIS. Pertama, faktor sosiologis berupa kelompok-kelompok sosial dan
keagamaan yang berbeda mazhab dan terlibat konflik sektarian antara Suni dan
Syiah serta faksi-faksi kecil di Irak melemahkan kohesifitas masyarakat dan
legitimasi negara. Dalam kondisi chaos dan labil inilah kekuatan ISIS tampil
sebagai kekuatan utama yang mendominasi kawasan. Setelah
kemunduran signifikan bagi kelompok selama tahap terakhir dari kehadiran
pasukan koalisi di Irak, akhir tahun 2012 itu dianggap telah
memperbaharui
kekuatan dan lebih dari dua kali lipat jumlah anggotanya
sebanyak 2.500 dan sejak pembentukannya pada tahun April 2013, ISIS telah
berkembang dengan pesat dalam kekuatan dan pengaruhnya di wilayah di Irak dan Suriah. Para
analis telah menggarisbawahi bahwa peradangan konflik sektarian antara Syiah Irak dan
Sunni yang disengaja selama Perang Irak adalah akar penyebab meningkatnya kekuatan ISIS, Fanar Haddad,
seorang peneliti di National University of East Tengah Institute Singapura, menyalahkan pasukan pendudukan selama perang Irak telah, "mengabadikan politik identitas sebagai
penanda kunci politik
Irak". khususnya terhadap Muslim
Syiah dan penduduk
asli Syria-Aram, Asyur
sertan Armenia Kristen.
Kedua,
faktor strategi peperangan dengan mengumbar kebrutalan dan kesadisan yang secara
psikologis tentu menurunkan mentalitas militer Irak dan Suriah. Lemahnya
mentalitas militer Irak dan Suriah tentu saja menjadi amunisi psikologis bagi
ISIS untuk menguasai medan penaklukan.
Ketiga,
faktor teknologi internet menyebarluaskan gagasan dan ideologi mereka melalui
seruan-seruan jihad di sosial media dapat menembus jutaan kilometer untuk
menyentak kesadaran para simpatisan mereka dari berbagai negara yang telah
memiliki pra paham mengenai wacana khilafah.
Keempat,
seruan jihad dan pendirian khilafah direspon tiap-tiap individu dan kelompok
keagamaan yang terlebih dahulu berinteraksi dengan ideologi pendirian khilafah
di sejumlah kantong wilayah suatu negara. Ibarat benih yang jatuh di tanah yang
subur, demikianlah menjamurnya respon terhadap berdirinya khilafah oleh ISIS
bak cendawan dikarenakan di wilayah-wilayah tersebut telah tersedia tanah yang
gembur untuk menyuburkan ideologi tersebut. Indonesia bukan kawasan steril dari
kelompok-kelompok radikal fundamentalis. Sejak pemerintahan Bung Karno,
nasionalisme diguncang separatisme DI/TII dan PKI (1940-1950-an). Sejak
pemerintahan Soeharto, nasionalisme diguncang wacana khilafah oleh Komando
Jihad (1970-1980-an). Paska Reformasi, kelompok-kelompok radikal agama mulai
mengganggu ketertiban umum dan menebar teror khususnya paska Tragedi WTC
Amerika (2001).
Kelima,
kekayaan yang dihasilkan dari penaklukan wilayah. Kelompok militan Negara Islam
Irak dan Suriah (ISIS) menjadi kelompok militan terkaya setelah menjarah uang
sebesar 429 juta dollar AS atau sekitar Rp 5 triliun dari sejumlah bank di kota
Mosul, Irak.
ISIS,
Bentukan Amerika dan Israel?
Ditengah kekuatiran
akan bahaya ISIS, muncul pernyataan dari Edward Snowden mantan anggota NSA
(National Security Acts) bahwa ISIS adalah bentukan Amerika dan Israel untuk dibuat
untuk melindungi kepentingan zionis dengan menciptakan jargon-jargon Islam dan
memberikan pembenaran bagi Israel untuk melakukan tindakan represif di kawasan
Timur Tengah. Berikut kutipan pernyataan tersebut: “Dikutip dari Global Research, sebuah organisasi riset media independen
di Kanada, Snowden mengungkapkan jika satuan intelijen dari Inggris, AS dan
Mossad Israel bekerjasama untuk menciptakan sebuah organisasi militer yang akan
mendeklarasikan negara khalifah baru, yaitu ISIS. Snowden dengan
terang-terangan mengungkapkan, badan intelijen dari tiga negara tersebut
membentuk sebuah organisasi teroris untuk merekrut semua ekstremis garis keras
di seluruh dunia. Strategi itu disebut dengan nama ‘sarang lebah’.
Melalui
dokumen-dokumen NSA yang dirilis Smowden, terdapat paparan strategi yang menunjukkan
siasat “sarang lebah” tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan zionis
dengan menciptakan jargon-jargon Islam. Berdasarkan dokumen tersebut,
satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan Yahudi dan Zionis adalah
menciptakan musuh di perbatasan.”
Tidak mengherankan jika
muncul pernyataan Ketua Bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah, Teguh
Santosa, “Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) adalah teror gaya baru yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang
anti-Islam dan ingin mendapatkan keuntungan dari destabilisasi kawasan Timur
Tengah dan ketegangan baru di dunia”
Informasi di atas
barulah teori dan dugaan yang belum dapat dibuktikan. Kita masih ingat
bagaimana marahnya Abu Suhail atas pernyataan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad saat
menyatakan dalam sidang-sidang PBB bahwa Tragedi WTC 9-11-2001 adalah rekayasa
Amerika dan CIA melalui organisasi bentukan mereka yaitu Al Qaedah, sehingga
Abu Suhail mengungkapkan ketersinggungannya melalui artikel yang berjudul "Iran and the Conspiracy Theories"
melalui majalah Inspire. Abu Suhail
menuding Ahmadinejad iri karena yang mampu melakukan perlawanan dengan kekuatan
yang nyata adalah Al Qaedah bukan Iran.
Bisa jadi teori dan opini Snowden justru adalah bagian dari teori konspirasi
untuk melemahkan kesadaran negara-negara terhadap bahaya ISIS dan ideologi
khilafahnya sehingga negara-negara kehilangan kewaspadaannya. Pengalihan isyu
bahwa radikalisme agama dan aksi-aksi terorisme mengatasnamakan agama adalah
rekayasa Amerika dan Israel hanyalah lamunan penganut teori konspirasi yang
sulit dibuktikan dan menimbulkan kebingungan belaka yang pada akhirnya
melemahkan kesiapan dan kewaspadaan sebuah negara menghadapi ancaman nyata dari
kekuatan yang sedang bersiap melumat peradaban yang dilandasi nilai-nilai
demokrasi.
Tudingan teori-teori
konspirasi di atas bukan barang baru. Al Qaedah pun diyakini sebagai organisasi
bentukan Amerika[2
namun mereka yang menuding melupakan fakta bahwa memang Al Qaedah dibentuk oleh
Amerika untuk membendung laju kekuatan komunis, bersama negara-negara Arab
lainnya. Setelah komunis runtuh maka terjadi pergeseran orientasi
militan-militan bentukan Amerika tersebut. Lawrence Wright memberikan deskripsi
dan analisis menarik dalam bukunya sbb: “Di
bawah otoritas Abu Hajer, al Qaeda berubah dari pasukan Islam anti komunis yang
merupakan visi awal bin Laden, menjadi organisasi teroris yang terus menerus
berusaha menyerang Amerika Serikat, negara adi kuasa terakhir dan kekuatan yang
diyakini bin Laden dan Abu Hajer sebagai ancaman terbesar bagi Islam”.
Lawrence melanjutkan, “Sebuah visi
baru Al Qaeda telah lahir. Kedua fatwa Abu Hajer, fatwa pertama yang
mengizinkan serangan terhadap tentara Amerika dan fatwa kedua yang mengizinkan
pembunuhan orang tak berdosa, mengubah al Qaeda menjadi organisasi teroris
global. Al Qaeda tidak lagi berkonstrasi pada melawan tentara, tetapi membunuh
orang sipil. Kosep awal al Qaeda sebagai pasukan mujahidin yang mudah
dipindah-pindahkan untuk membela tanah Muslim manakala ada ancaman, telah digantikan
dengan kebijakkan untuk menghancurkan Barat. Uni Soviet telah mati dan
komunisme bukan lagi ancaman di tapal batas dunia Islam. Hanya Amerikalah
satu-satunya kekuatan yang mampu mencegah kebangkitan kembali kekhalifahan
Islam zaman dahulu sehingga negara itu perlu dihadapi dan dikalahkan”
Bukan tidak mungkin
pula eksistensi ISIS yang sebelumnya memiliki sejumlah nama organisasi,
dibentuk oleh kekuatan Amerika untuk melakukan perlawanan terhadap rezim
Presiden Suriah Bashar al Ashaad yang dibekingi Rusia namun dalam
perkembangannya menjadi virus yang mematikan dan berbalik (seperti al Qaeda
yang menyerang Amerika) dan merugikan bukan hanya pemerintahan Irak dan Suriah
melainkan negara-negara yang terancam dengan proklamasi khilafahnya.
Merenungkan
Kembali Prediksi Samuel Huntington Mengenai Perbenturan Peradaban
Tahun 1993, Samuel
Huntington dalam bukunya yang terkenal “The
Clash of Civilizations and The Remaking of World Order” dan telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia” diterbitkan oleh
Qalam.. Buku tersebut menuai ontroversi baik dari masyarakat intelektual baik
internal maupun eksternal. DR. Latthifah Ibrahim Khadhar menulis buku untuk
menjawab analisis Huntington dengan judul, “Ketika
Barat Memfitnah Islam” diterbitkan oleh Gema Insani Press. Dengan keras DR.
Latthifah Ibrahim Khadhar menuding, “Berangkat
dari keyakinan Barat tentang keniscayaan adanya perseteruan—dan bahwa
keberadaannya tak terwujud kecuali dengan perseteruan dan benturan dengan
musuhnya—maka Barat pun membuat-buat perseteruan dan menciptakan musuh serta
membesar-besarkannya. Mereka akan terus berusaha hingga saat kekalahan Islam
dan kemenangan Barat terjadi. Mereka menolak timbulnya tandingan dan memperkuat
perasaan tinggi hati dengan kekuatan dan kekejaman”.
Apa yang membuat para
pemikir politik dan sosial serta agamawan begitu kontroversial dengan opini
Huntington? Huntington membuat analisis bahwa paska runtuhnya Komunisme, Barat
dan Islam menjadi dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Konflik antara
Barat dan Islam dilandasi oleh adanya perbedaan konsepsi keagamaan dan kesamaan
misi keagamaan yaitu bersifat dakwah atau misionaris sehingga berpotensi
menimbulkan konflik masa depan.
Huntington percaya bahwa sifat interaksi Islam dan Kristen baik Ortodox maupun
Barat selama 400 tahun seringkali penuh ketegangan.
Lebih spesifik lagi, Huntington menyatakan: “Bagi
Barat, yang menjadi ‘ganjalan’ utama bukanlah fundamentalisme Islam tapi Islam
itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan
mereka yang diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas
mereka. Bagi Islam, yang menjadi persoalan bukan CIA atau Departemen Pertahanan
A.S., tapi Barat, sebuah peradaban yang berbeda dimana masyarakatnya meyakini
universalitas serta keluhuran kebudayaan mereka. Jika mereka mengalami
kemunduran, terdapat kekuatan yang mengharuskan mereka menyebarkan kebudayaan
mereka di seluruh dunia. Itulah sebab-sebab yang memicu terjadinya konflik
antara Barat dan Islam”.
Opini dan analisis
Huntington tentu saja tidak sepenuhnya benar dan mengabaikan fakta keragaman
dalam Islam dan bagaimana Islam tidak sepenuhnya menampilkan karakter
bermusuhan terhadap peradaban Barat dan Demokrasi. Namun demikian, analisis
Huntington pun tidak bisa dicampakkan begitu saja dan dianggap sebagai pencetus
dan pendorong konflik Barat dan Islam, sebagaimana kata pengantar edisi
terjemahan bukunya dalam bahasa Indonesia, “Apa mau dikata, sekeliru apapun
tesis Huntinton ini, tidak bisa disangkal, banyak fkta dalam realitas
kontemporer membuktikan keakuratan tesisnya itu. Kentalnya aroma kekerasan yang
mewarnai setiap konflik menunjukkan betapa kuat identifikasi diri setiap
kelompok sosial berdasarkan agama dan kepercayaan yang dianut. Mengerasnya
kesadaran diri dan jati diri yang dimotivasi kebencian pada pihak lain tersebut
telah menyemburatkan konflik-konlik berdasarh yang memakan ongkos sosial sangat
besar semata karena sentimen-sentimen dan sikap primordialistik picik”.
ISIS
Sebagai Ancaman Terhadap Keamanan Nasional dan Ideologi Pancasila
Mengapa ISIS dikatakan
sebagai ancaman keamanan nasional dan ideologi Pancasila? Bukankah ISIS jauh
dari Indonesia dan para pendukung dan simpatisannya di Indonesia tidak bersenjata?
Penetapan ISIS sebagai bahaya bagi keamanan nasional bukan terletak pada ada
tidaknya aktifitas bersenjata yang melakukan kekerasan dan aksi-aksi terorisme
di wilayah Indonesia. Dasar penetapan bahwa ISIS adalah berbahaya bagi keamanan
nasional adalah: Pertama, ideologi khilafah dan seruan komando dari Abubakar Al
Baghdadi kepada seluruh wilayah negara termasuk Indonesia. Seruan jihad
internasional itu telah direspon oleh kelompok-kelompok keagamaan di Indonesia.
BNPT sudah melaporkan bahwa ada 30 orang Indonesia yang terlibat dalam konflik
di Irak. Sementara peneliti lain ada yang mengidentifikasi 2 juta pengikut. Apa
yang terjadi jika mereka pergi ke Irak dan Suriah dan terlibat dalam
pertempuran dan kembali ke Indonesia dengan membawa dan mengembangkan ideologi
khilafah sebagaimana yang dilakukan ISIS di Irak dan Suriah? Apalagi
kelompok-kelompok teroris di beberapa wilayah di Indonesia sudah menyatakan
dukungannya dan mereka bersenjata serta belum mampu ditumpas sepenuhnya oleh
aparat kepolisian maupun militer.
Kedua,
penetapan BNPT bahwa ISIS adalah organisasi teroris. Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai menyatakan Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS termasuk kategori
kelompok teroris. Menurut Ansyaad, Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Ban Ki-moon, juga mencap ISIS sebagai teroris. "Warga
negara kita terlibat aksi teror, itu melanggar hukum," kata Ansyaad saat
dihubungi Tempo, Jumat, 1 Agustus 2014.
Penetapan oleh BNPT menjadi dasar bagi masyarakat bagaimana menyikapi dan
memperlakukan kelompok-kelompok ini yaitu mengawasi gerak-gerik mereka dan
melaporkan pada aparat berwenang saat mereka melakukan berbagai kegiatan yang
membahayakan keamanan.
Ketiga, ideologi ISIS
yang ekslusif sektarian bertentangan dengan ideologi Pancasila yang inklusif
egaliterian. Konsepsi membangun khilafah dan meniadakan eksistensi umat agama
lain sebagaimana dipraktekkan ISIS di Irak sehingga mengakibatkan ribuan umat
Kristiani di Mosul meninggalkan negaranya sangat bertentanga dengan konsepsi
Pancasila yang menerima keragaman sebagai basis kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Rumusan Pancasila yang
dikenal saat ini menempatkan prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam urutan pertama
sekalipun Soekarno saat merumuskan Pancasila menempatkannya pada urutan paling
terakhir yaitu urutan kelima. Berbicara mengenai urutan pertama atau sila
pertama dari Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menarik mendengar
pidato dan penjelasan Soekarno sebagai penggali dan pencetus Pancasila.
Selengkapnya beliau berkata:
“Saudara-saudara, apakah prinsip kelima? Saja telah mengemukakan 4
prinsip:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme,-atau
peri-kemanusiaan
- Mufakat,-atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
Prinsip jang kelima
hendaknya: Menjusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan jang Maha
Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan
sadja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan Tuhannja sendiri. Jang Kristen menjembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al Masih, jang Islam bertuhan menurut petundjuk Nabi Muhammad
s.a.w., orang Budha mendjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab jang ada
padanja. Tetapi marilah kita semuanja ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Tuhannja dengan tjara yang
leluasa. Segenap rakjat hendaknja ber-Tuhan setjara kebudayaan, ja’ni
dengan tiada ‘egoisme-agama’, Dan hndaknja Negara Indonesia satu Negara jang
bertuhan”.
Konsepsi Pancasila
mengenai Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberikan rujukan historis bahwa
Indonesia bukan negara agama atau negara dengan satu agama dominan melainkan
negara dengan beberapa agama di dalamnya yang diakui eksistensinya dan
diberikan ruang kebebasan untuk mengekspresikan ibadah sesuai keyakinan dan
kepercayaan dengan istilah, “dengan cara
yang leluasa”. Bahkan sila pertama ini direalisasikan menjadi undang-undang
Pasal 29 dimana negara memberikan jaminan kebebasan beragama dan melaksanakan
peribadatan sesuai agama yang dianut di Indonesia.
Saya sepakat dengan opini Haris el Mahdi yang
mengatakan, “Musuh terbesar dari
Pancasila adalah Islamisme. Hal ini perlu digaris-bawahi mengingat Indonesia
adalah Negara dengan jumlah pemeluk Islam yang sangat besar. Setiap usaha
provokasi untuk menumbangkan pancsilaisme dan menggantikannya dengan islamisme
akan mudah direspon, terutama oleh anak-anak muda. Lebih lagi, di saat yang
sama, ketidak-adilan terjadi begitu massif di Indonesia. Isu-isu ketidak-adilan
menjadi “pemantik api” yang pas untuk menawarkan “surga”.
Namun saya tidak sepakat ketika Haris el Mahdi menawarkan solusi untuk mencegah
perkembangan ISIS hanya dengan melakukan pendekatan yang sudah terlalu normatif
yaitu, “Sikap paling bijaksana menghadapi
membiaknya gagasan fundamentalisme agama berbasis Islamisme ini bukan dengan
cara-cara kekerasan atau intimidasi. Kekerasan dan intimidasi justru memperkuat
militansi dan diskursus yang mereka bangun. Terbukti, pendekatan kekerasan yang
dilakukan oleh Densus 88 tidak serta-merta mengeliminasi cara-pandang islamisme
ini. Alih-alih berkurang, cara pandang islamisme justru mngental, menguat dan
membiak. Densus 88 malah – sekarang – menjadi musuk publik karena
tindakan-tindakannya kerap tidak transparan. Cara terbaik menghadapi membiaknya
ideology islamisme ini adalah dengan melakukan counter discourse atau melawan
wacana islamisme dengan wacana pancasilaisme, Halini penting dilakukan untuk
mendarah-dagingkan falsafah Pancasila sebagai philosofische grondslag, terutama
pada kalangan kaum muda”.
Kerap beredar komentar dan opini di masyarakat yang akhir-akhir ini
kerap melemahkan Densus, mulai dari provokasi pembubaran Densus 88 yang
melanggar HAM dan tindakan penembakkan mati yang diterapkan terhadap terduga
pelaku terorisme. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa terorisme
adalah aksi kejahatan luar biasa yang menuntut penindakan yang luar biasa pula.
Apa jadinya nasib aparat kita jika pelaku terorisme yang terlatih dan
bersenjata mematikan (senapan dan bahan peledak) dihadapi dengan cara-cara
biasa?
Maka sungguh tidak relevan himbauan menyerah
yang dibalas dengan perlawanan berupa tembakan, harus diakhiri dengan negosiasi
dan penangkapan normal. Eksekusi di tempat menjadi solusi akhir tentunya.
Faktanya, yang tidak melakukan perlawanan dan menyerah tetap dibiarkan hidup.
Selayaknyalah komentar-komentar dan opini kita jangan sampai melemahkan
tugas-tugas aparat berwenang sehingga memberikan celah bagi pelaku terorisme
mengembangkan jaringannya. Upaya normatif berupa penyadaran dan persuai
serta sosialisasi nilai-nilai Pancasila adalah ranah pencegahan. Upaya
kekerasan mulai dari penangkapan dan penembakkan adalah ranah penindakkan. Kita
tidak bisa mencampuradukkan atau memindahkan pola pencegahan dan pola penindakkan
karena jika itu dilakukan akan membahayakan aparat negara dan menimbulkan rasa
ketidakamanan di dalam masyarakat.
Kiranya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang hampir berakhir
masa jabatannya dan pemimpin pemenang Pilpres 2014 yang akan menduduki jabatan
baru, tanggap dan responsif menyikapi fenomena ISIS dan potensi ancaman terbuka
bagi keamanan nasional dan ideologi Pancasila serta mengambil langkah-langkah
strategis untuk mengubur sedalam-dalamnya hantu radikalisme dan fundamentalisme
agama yang akan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.